Minggu, 16 Desember 2012

Edisi: Kangen Van Lith

Iya, lagi kangen sama Van Lith.

Aneh ya, dek, kok penjara primitif dikangenin? ;p #kode #nomention

Tapi di sana lah gue menghabiskan 3 tahun yang paling luar biasa di dalam hidup gue...

Foto-foto ini diambil waktu ngambil ijazah. Waktu itu sekolah sepi sekali...






Gak ada yang bener-bener benci/bener-bener cinta sama sekolahnya; sekolah selalu memberikan 2 rasa itu secara bersamaan dalam bentuk kenangan...

I love Van Lith 100%, I hate Van Lith 100%

V,
dia...Z


Jumat, 07 Desember 2012

Putri Buta dan Pangeran Penyihir

Pada suatu masa, ketika penyihir-penyihir masih tinggal berdampingan bersama manusia biasa dengan damai, ketika masih ada ibu peri yang memberikan anugrah kepada setiap anak perempuan, lahirlah seorang putri di Kerajaan Northallington. Setelah lahir, seorang ibu peri bernama Felice memberikannya anugrah kepintaran dan kebijaksanaan seperti ayahnya. Ayah-ibunya, Raja dan Ratu Northallington amatlah sangat menyayangi putri mereka yang manis itu. Seluruh pegawai istana juga menyukai anak asuh mereka yang mulia itu, karena Putri Cordelia—begitulah putri itu dipanggil—tumbuh menjadi gadis yang periang dan baik hati. Kebaikan hati dan kerupawanan Sang Putri tersebar ke seluruh Kerajaan Northallington.

Sayang sekali, putri cantik ini buta. Ibu perinya tidak memiliki keterampilan sihir yang cukup untuk menyembuhkannya. Tabib-tabib dari seluruh penjuru kerajaan pun tidak dapat menyembuhkannya. Hanya para penyihir yang bisa. Namun, meskipun hidup berdampingan dengan baik, penyihir masih dianggap tabu untuk masuk ke dalam istana. Sehingga, tidak ada yang dapat menyembuhkan sang putri.

Tapi Putri Cordelia tidak pernah menyerah untuk terus belajar. Ia berusaha untuk melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan pelayan. Seperti berpakaian, makan, dan berjalan-jalan di istana. Putri Cordelia juga rajin belajar meskipun tak bisa membaca. Gurunya, Tabib Reindra yang sudah tua, setiap hari membacakan buku-buku untuk Putri Cordelia. Buku apapun dibacakan oleh Tabib Reindra, baik buku cerita maupun buku pengetahuan. Putri Cordelia pun selalu mendengarkan dengan baik. Ia tumbuh menjadi seorang putri yang cantik, pintar, baik hati dan mandiri, meskipun ia memiliki keterbatasan.

Tujuh belas tahun berlalu, Putri Cordelia sudah harus mencari pasangan hidup sebelum dilantik menjadi ratu. Ayahnya sudah terlalu tua untuk memerintah sendiri Kerajaan Northallington. Maka dari itu, Keluarga Kerajaan Northallington mengumumkan diadakannya pesta dansa kerajaan untuk mencari seorang pangeran bagi sang putri.

“Ini lucu, Ayah,” kata Putri Cordelia ketika mendengar ide ayahnya sewaktu minum teh.
“Apa yang lucu, Putriku?” tanya Raja Northallington dengan agak bingung.
“Kalau aku tidak salah, waktu aku masih kecil, kita pernah mengahadiri pesta seperti ini yang diadakan oleh Kerajaan Southernlong untuk mencarikan putri bagi Paman… siapa? Aku lupa namanya.”
“Oh ya. Pamanmu Raja Edward ya? Betul, kita pernah menghadirinya. Aku kaget sekali bahwa ternyata putri cantik itu hanyalah seorang anak tiri yang dijadikan pelayan oleh ibunya. Untunglah gadis malang itu punya ibu peri yang memberinya sepatu kaca ajaib itu. Kau boleh mengundang mereka kalau kau mau, Sayangku.”
“Baiklah, aku akan mengundang mereka. Paman Edward dan Bibi Cinderella, ya? Ayah, bolehkah aku mengundang  Ibu Felice?”
“Aku sudah mengundangnya. Nanti ia akan membantumu memilih gaun,” kata Ratu Northallington, ibu Putri Cordelia.
“Ibu, bolehkah aku bertanya? Mengapa hanya seorang gadis yang dapat didatangi ibu peri?”
“Aku juga tidak tahu mengapa. Namun sepertinya sejak dulu juga tidak ada laki-laki yang didatangi ibu peri. Mungkin karena perempuan memiliki keterbatasan yang tidak dimiliki oleh laki-laki,” kata Ratu Northallington kepada putrinya itu.
“Jadi, pemuda-pemuda yang nanti datang nasibnya tidak ada yang seperti Bibi Cinderella, ya? Ah, tidak romantis!”
Sang ratu tertawa mendengar perkataan anak semata wayangnya itu. “Tentu tidak, Sayang. Ternyata kau masih agak kekanak-kanakan ya!” katanya sambil membelai pipi dan mencium kening anaknya yang manis dan hendak beranjak dewasa itu. “Tapi, Ibu yakin kau akan menemukan yang terbaik dalam hidupmu.”

Hari pesta dansa kerajaan sudah semakin dekat. Peri Felice dan Putri Cordelia mencoba gaun yang akan dipakai oleh Putri Cordelia.
“Bagaimana menurutmu, Cordelia. Warna gaun ini putih, sederhana untuk memancarkan kecantikanmu. Kau tampak cantik sekali di mataku,” kata Peri Felice.
“Terasa nyaman dan indah, Ibu. Aku menyukainya. Sayang, aku tidak dapat melihat diriku di dalam gaun ini,” kata Putri Cordelia.

Esok malamnya, pesta dansa dimulai. Seluruh undangan bertepuk tangan ketika Putri Cordelia turun tangga memasuki Aula Utama, didampingi ayah-ibunya. Seluruh undangan tampak terpesona dengan kecantikan sang putri. Putri Cordelia pun mulai berdansa dengan beberapa pemuda. Sayangnya, karena keterbatasannya, Putri Cordelia dan pasangan dansanya hanya bisa berputar kecil-kecil dan maju mundur dan harus hati-hati agar Putri Cordelia tidak tersandung, malah secara tidak sengaja, terkadang Putri Cordelia menginjak kaki pasangannya. Putri Cordelia merasa agak bersalah karena pemuda-pemuda yang berdansa dengannya dirasakan olehnya tidak nyaman ketika berdansa dengannya. Perasaan itu juga membuat Putri Cordelia malu dan agak malas berdansa. Maka, setelah lagu kelima usai, Putri Cordelia memilih untuk duduk di kursi tamu untuk mengobrol dengan Paman dan Bibinya sambil mendengarkan musik. Ketika Putri Cordelia sedang dituntun oleh seorang pelayannya, ada seorang pemuda yang menghampiri Sang Putri.
“Putri, maukah engkau berdansa dengan saya sebentar saja?” pinta pemuda itu.
Kalau saja aku dapat menolaknya… pikir Putri Cordelia agak kesal. Ia mengira para pemuda di situ sudah menyerah untuk berdansa dengan putri saat menonton pemuda lain yang berdansa sebelumnya.
“Baiklah, aku mau,” kata Putri Cordelia dengan agak terpaksa.

Si pelayan membimbing tangan Putri Cordelia ke dalam genggaman pemuda itu. Sungguh tidak disangka oleh Sang Putri, ketika tangannya digenggam oleh pemuda itu, Putri Cordelia merasakan getaran energi dari tangan hangat yang menggenggamnya. Seluruh saraf perabanya berkembang menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Udara yang tidak dapat diraba, sekarang dirasakan menggelitik kaki dan wajahnya. Ketika dibimbing oleh pemuda itu ke tengah aula, Putri Cordelia tidak tersandung-sandung lagi. Refleksnya menjadi jauh lebih baik, seakan ia mempunyai mata di kaki.

“Apa yang kau lakukan? Bagaimana…?!” seru Putri Cordelia kepada pemuda itu, bingung.
“Ssstt…. Tidak apa-apa, Putri. Aku tidak akan membiarkan anda celaka,” kata pemuda itu.

Musik mulai bermain, dan mereka mulai berdansa. Tidak seperti sebelumnya yang hanya maju-mundur, pemuda itu mengajak Putri Cordelia menari berputar-putar mengelilingi aula. Dan anehnya, Putri Cordelia sama sekali tidak tersandung! Dan lebih aneh lagi, Putri Cordelia merasa bahwa di sekitarnya tidak ada lagi pasangan-pasangan yang menari. Malahan, Putri Cordelia hanya mendengar seru-seruan kaget dari sekelilingnya setiap kali ia berputar. Ia tidak tahu, ketika ia berputar, gaun putihnya berubah-ubah warnanya menjadi indah sekali, yang membuat hadirin kaget karena ajaibnya. Namun, Putri Cordelia tidak menghiraukannya. Ia lebih peduli dengan dansa yang sedang dilakukannya. Baru kali ini lah ia merasa bebas untuk bergerak dengan keterbatasannya. Ia menguasai seluruh keseimbangan tubuhnya, sekarang. Tidak ada yang menghalanginya, bahkan kebutaannya.

“Ini menyenangkan sekali!” seru Putri Cordelia.
“Anda senang, Putri? Oh, syukurlah. Saya pikir anda ketakutan dengan menari berputar-putar seperti ini,” kata si pemuda.
“Takut? Ah, kau salah. Aku tidak pernah merasa sebebas ini dalam bergerak. Kata guruku, berputar-putar seperti ini dapat membuat pusing, tapi aku tidak merasakan apa-apa.”
“Anda beruntung karena mata anda tertutup. Saya sekarang merasa pusing.”
“Oh, kurangi saja putaran kita. Musik juga sudah mulai melambat.”

Mereka mulai berdansa pelan-pelan. Putri Cordelia senang sekali dengan dansanya kali ini. Yang ia tidak tahu, pemuda pasangannya sedang membuat keputusan yang lancang sekali terhadapnya.

“Siapakah engaku, yang telah memberikan kekuatan kepadaku? Katakanlah namamu.”
“Saya akan mengatakannya. Nanti. Ketika musik berhenti.”

Musik melambat, berhenti pelan-pelan, dan menghilang.
Dan ada yang menyalakan lampu tepat di depan mata Putri Cordelia.
Putri Cordelia merasa silau. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu melihat sekelilingnya.
Ia baru sadar. Ia bisa melihat.

Putri Cordelia memandang kepada orang di depannya, yang menggenggam tangannya, terlihat bahagia.
Meskipun baru bisa melihat, ia mengerti. Wajah bahagia di depannya amatlah tampan.
Dan di tangan kanan orang itu yang tidak menggenggam tangannya, tergenggam sebuah tongkat.

“Apa yang kau lakukan tadi! Beraninya kau masuk!” jerit sebuah suara yang dikenal Putri Cordelia sebagai suara ibunya.
“Tunggu. Cordelia, kau…?!” ada suara tertahan dari suara berat milik Raja Northallington.

Putri Cordelia tidak dapat menahan kebahagiaannya lagi. Ia berlari menuju singgasana kedua orangtuanya. Ia memeluk ayah-ibunya sambil berkata,
“Akhirnya aku bisa melihat kalian berdua! Betapa bahagianya aku! Oh, Ibu Felice!”
Putri Cordelia memeluk erat ibu perinya. Baru kali inilah ia melihat sosok seorang ibu peri. Sama seperti gambaran yang pernah dibacakan oleh Tabib Reindra. Ibu-ibu peri mempunyai wajah cantik yang awet muda. Mereka tidak menjejak tanah dan kuping mereka lancip. Karena hanya ada satu sosok seperti itu di dekat kedua orangtuanya, maka Putri Cordelia yakin sekali itulah Ibu Felice, ibu perinya.

“Ibu memberkatiku lagi, ya? Terima kasih!” Putri Cordelia mengira kesembuhannya dari berkat ibu perinya.
“Tidak anakku. Tentu kau tahu sihirku tidak akan pernah cukup untuk menyembuhkan panca indera. Dia lah yang menyihir matamu,” kata Ibu Felice sambil menunjuk laki-laki yang masih terpaku di tengah aula.

Semua hadirin memandang pemuda itu. Pemuda itu masih menggenggam tongkatnya. Memandang Putri Cordelia dan ibu perinya secara bergantian.
“Siapakah namamu, penyihir muda? Berlututlah dan sebutkan namamu,” perintah Raja Northallington.
Pemuda itu meletakkan tongkatnya di lantai sambil berlutut. Ia berkata,
“Nama saya Penyihir Daniel dari Hutan Utara. Maafkanlah kelancangan saya, baginda Raja dan Ratu. Saya sungguh patut dihukum. Saya akan mematahkan tongkat saya dan tidak akan menyihir lagi untuk selama-lamanya,” kata Penyihir Daniel pasrah.
“Apa yang kau pikirkan sewaktu hendak menyembuhkan putriku tanpa seizinku? Apa yang memotivasimu? Kau hendak mencelakai putriku?” seru Ratu Northallington dengan marah.
“Oh Baginda Ratu, tak ‘kan pernah sanggup diri hamba memikirkan hal buruk tentang Sang Putri. Sejak pertama kali ia lewat di depanku dan secara tak sengaja menatap mataku ketika karnaval tahun lalu, aku sudah jatuh cinta padanya. Hamba hanya memikirkan betapa sedihnya beliau tidak dapat memandang hamba kembali. Saya telah mempelajari mantra tadi selama setahun ini dan mencobakannya kepada para pengemis buta. Karena berhasil, hamba ingin menyembuhkan Tuan Putri. Hamba hanya ingin, Putri Cordelia memandang mataku lagi…” kata Penyihir Daniel sambil menatap Putri Cordelia.

Mereka saling memandang. Tanpa sadar, Putri Cordelia berjalan menghampiri Penyihir Daniel, meraih tangannya dan membantu penyihir muda itu berdiri.
“Kaulah yang selama ini aku impikan….”
Mereka berdua berpelukan.

Luluhlah hati Raja dan Ratu Northallington melihat putri mereka menemukan mimpinya, meskipun ia merupakan seorang penyihir lancang.
“Daniel, kemarilah,” perintah Ratu Northallington.
Penyihir Daniel melepaskan pelukannya dan berlutut di hadapan singgasana.
“Apa kau bersedia untuk melepaskan tongkatmu dan mematahkannya?” tanya Ratu Northallington.
“Apapun hukum yang anda perintahkan saya untuk melakukannya, saya bersedia.”
“Apakah kau bersedia untuk tidak pernah melakukan sihir lagi untuk selama-lamanya?”
“Ya, saya bersedia.”
“Dan satu hal lagi,” kata Ratu Northallington. “Apa kau bersedia setia kepada putriku sampai mati?”
Penyihir Daniel dan Putri Cordelia tercengang mendengar pertanyaan terakhir.
“Saya akan mematahkan tongkat saya, tidak melakukan sihir selama seumur hidup, apapun akan saya lakukan untuk dapat setia kepada Putri Cordelia, selama-lamanya.”
Penyihir Daniel mengatakannya sambil mematahkan tongkatnya menjadi dua. Tongkat itu terbakar, lalu menghilang.

“Baiklah,” kata Raja Northallington. “Kau dibebaskan dari hukuman, dan akan segera kita adakan pertunanganmu dengan putriku. Dan terima kasih yang amat sangat, karena kau telah menyembuhkan putriku.
“Dan tidak boleh lagi ada penindasan kepada Para Penyihir. Mereka diperbolehkan masuk istana,” kata Raja Northallington, memberikan keputusan terakhir.

Seluruh rakyat bahagia mendengar keputusan Sang Raja.Tak ada lagi diskriminasi bagi para penyihir. Mereka dapat hidup berdampingan dengan baik.

Setahun kemudian dilangsungkan pernikahan antara Putri Cordelia dan Pangeran Penyihir Daniel, yang telah menyembuhkannya dari kebutaan selama 17 tahun. Mereka berdua memerintah Kerajaan Northallington dengan baik. Pada masa itulah penyihir dan manusia hidup berdampingan dalam kedamaian, selama-lamanya.