Pada suatu masa, hiduplah seorang saudagar kaya. Ia mempunyai seorang istri
dan 3 orang anak. Seperti layaknya saudagar pada umumnya, ada masa ketika
saudagar itu kaya raya, ada masa sulit ketika saudagar itu mengalami keadaan
"lebih besar pasak daripada tiang." Yang menyedihkan adalah, ketika si saudagar
itu sedang bangkrut, istri yang paling dicintainya meninggal dunia...
Lewat masa berkabung, saudagar itu bertekad untuk membawa kembali keluarganya
menjadi kaya raya seperti dulu, walaupun sang istri telah meninggal dunia... Ia
pun pamit kepada ketiga putrinya untuk melakukan perjalanan ke Timur Jauh untuk
berdagang di
sana.
Anak pertama berkata, "Ayah, tolong belikan aku sutra dari Timur Jauh. Aku
sudah lama ingin gaun yang terbuat dari sutra terbaik yang dimiliki Timur
Jauh."
Si saudagar menjawab, "Tentu saja, sayangku. Doakan saja semoga ayahmu ini
sukses dan bisa kembali membawakan sutra itu kepadamu."
Anak kedua berkata, "Ayah, tolong belikan aku sepatu kayu dari Timur Jauh.
Aku sudah lama ingin sepatu kayu dari kayu terbaik yang dimiliki Timur
Jauh."
Si saudagar menjawab, "Tentu saja, sayangku. Doakan saja semoga ayahmu ini
sukses dan bisa kembali membawakan sepatu kayu itu kepadamu."
Si kecil bungsu dengan lugunya berkata kepada ayahnya, "Ayah, ayahku sayang,
hanya satu yang kuinginkan: ayah cepat pulang dari Timur Jauh..."
Si saudagar tersenyum dan memeluk putrinya yang paling kecil itu, "Aduh,
anakku sayang... Ayah belum pergi kok kamu sudah minta ayah pulang?" :) "Kamu
mau oleh-oleh apa, nak? Katakan saja..."
"Hmm... Baiklah... Aku mau mawar putih saja untuk oleh-oleh, ayah..."
Mendengar permintaan putri kecilnya itu, terharulah si saudagar dan berjanji,
"Tentu saja! Aku akan bawakan mawar putih terbaik untukmu, sayangku!"
Sepuluh tahun pun berlalu. Si saudagar sudah amat rindu kepada putri-putri
kesayangannya, dan sudah bosan hidup di Timur Jauh. Ia pun tak lupa membeli
sutra merah jambu dan sepatu kayu untuk para kakak-kakak.
Setelah turun dari kapal, si saudagar harus melanjutkan perjalanan dengan
kuda untuk pulang ke rumah. Hari sudah petang. Ia melewati suatu hutan yang amat
lebat dengan tergesa-gesa. Si saudagar ini sebenarnya agak takut dengan
gelap.
Di tengah perjalanan, si saudagar melihat ada serumpun mawar putih yang
indah. Melihat rerumpunan itu, si saudagar langsung ingat dengan janjinya dengan
si putri kecil. Ia pun turun dari kudanya dan memetik satu bunga mawar
putih.
“SIAPA ITU?!” terdengar suara yang amat keras. “BERANI-BERANINYA KAU MENCURI
MAWAR PUTIHKU!”
Tiba-tiba di balik rerumpunan itu, menyalalah suatu istana megah. Takut lah
si saudagar kaya.
“HEY! JAWAB AKU! SIAPA KAMU?!”
“S-saya hanyalah orangtua yang sedang dalam perjalanan pulang, tuan…”
“Hmm… Kemana kamu akan pulang?” tanya suara misterius itu.
“Ke rumah terdekat dari hutan ini, tuan…”
“Well, masuklah ke dalam istanaku. Makan lah. Baru setelah itu aku putuskan
nasibmu.”
Takut-takut, si saudagar membawa masuk kudanya ke
padang rumput istana itu.
Kuda itu segera makan rumput segar yang ada di situ, dan meringkik-ringkik
kegirangan. Saudagar itu tersenyum, lalu menalikan si kuda ke pohon
terdekat.
Pintu masuk istana itu dibukakan oleh… sebuah poci teh.
“Selamat sore, tuan!” sapa si Poci Kecil. “Tuan saya menyuruh saya untuk
menjamu anda malam ini. Silahkan masuk!”
Terheran-heran tapi senang, si saudagar masuk ke dalam istana.
Istana yang megah dan menyilaukan itu ternyata adalah suatu tempat yang amat
nyaman. Lukisan-lukisan yang menempel di dinding bisa tersenyum, berbicara, dan
menyambut tamu yang datang. Semua benda-benda mati ternyata hidup dan melayani
si saudagar dengan jamuan makanan yang luar biasa nikmat.
Setelah si saudagar puas makan dan minum, suara besar menakutkan itu kembali
berkata:
“Hey kau. Sudah selesai makanmu kah?”
“S-sudah, Tuan…” jawab si saudagar takut-takut.
Tiba-tiba terbukalah pintu ruang makan, dan keluarlah sesosok makhluk yang
buruk rupa. Saudagar sampai terjungkal dari kursinya karena melihat
ke-buruk-rupa-an dari makhluk tersebut.
“Nah. Kau Saudagar Tua, hendak kemana kau pulang?”
“S-seperti yang sudah saya bilang, Tuan. Saya hendak pulang ke rumah saya.
Saya sedang separuh perjalanan, lalu melihat mawar putih milik Tuan yang indah.
Saya jadi teringat dengan putri kecil saya di rumah yang ingin oleh-oleh mawar
putih…”
“Hmh, tapi kau tidak perlu mencurinya dariku,
kan?!”
“Maaf, Tuan, saya pikir mawar putih itu tumbuh begitu saja di hutan ini…”
“Mana mungkin, Saudagar Bodoh! Mawar putih sebagus itu pasti dirawat! Dasar
Saudagar Yang Tidak Punya Otak!”
“Ampun, Tuan… Sekarang saya harus bagaimana?”
“Mudah saja. Pulang ke rumahmu, bawa putri kecilmu yang ingin mawar putih itu
ke istana ini. Katakan padanya bahwa hidupnya di sini akan mudah. Kau sudah
merasakan bagaimana mudahnya hidup di istana ini, bukan?” ;) “Kalau kamu tidak
mau, kamu akan kubunuh!” ancam si Buruk Rupa.
“Dasar makhluk Buruk Rupa kurang ajar!” pikir si saudagar. “Berani-beraninya
ia mengambil putriku!”
Dengan penuh penyesalan atas kesalahan kecil yang telah ia perbuat, si
saudagar itu mengangguk, membungkuk, dan pergi pulang.
Sesampainya di rumah, si saudagar memeluk semua putri-putrinya dan memberikan
mereka oleh-oleh yang mereka minta: sutra dari Timur Jauh untuk kakak pertama,
sepatu kayu dari Timur Jauh untuk kakak kedua, dan mawar putih yang harum dan
bersih untuk si putri bungsu.
Mereka berempat bersenda-gurau seharian, saling menceritakan apa yang telah
terjadi selama sepuluh tahun ketika mereka, bapak dan anak-anak perempuannya
hidup terpisah. Putri-putri yang selalu masih kecil di mata ayah mereka itu
tidak tahu bahwa si ayah sedang memikirkan perkara yang sangat pelik…
Setelah makan malam, para kakak kembali ke kamar mereka masing-masing. Kakak
pertama mulai menjahit gaun sutra pertamanya dengan senang hati. Kakak kedua
mencoba-coba sepatu barunya dengan gaun-gaun yang telah ia miliki. Mereka asyik
di kamar masing-masing, meninggalkan si bungsu dengan ayahnya di ruang
makan.
“Nak, sebetulnya aku ingin menceritakan sesuatu padamu, tapi aku belum siap
mengatakan hal ini di depan kakak-kakakmu,” si saudagar mulai berbicara.
“Katakan saja, Ayah!”
Dan berceritalah si saudagar tentang kebodohannya, kenaifannya dan
kesanggupannya atas konsekuensi segala perbuatannya itu.
“Ayah, ayah tenang saja… Aku akan ke istana itu. Ayo kita berangkat
sekarang,” kata si putri kecil.
Sambil memeluk putri kecilnya, si saudagar tersedu-sedu, “Maafkan ayah, Nak.
Maafkan ayahmu yang bodoh ini…”
“Tidak apa-apa, Ayah. Tidak apa-apa… Ayo kita pamit kepada kakak-kakak.”
Para kakak pun juga terkejut dan menangisi
kepergian adik kecil mereka. Mereka juga menyalahkan Sang Ayah, tapi mau
bagaimanapun juga, ini semua berawal dari permintaan si putri kecil. Jadi yang
bisa para kakak lakukan hanya memeluk dan menangisi adik mereka….
Sesampainya di istana Buruk Rupa, si putri kecil dipersilahkan masuk oleh
Poci Kecil. Poci Kecil itu berkata, “Silahkan masuk Putri Kecil! Tapi anda tidak
dibolehkan ikut masuk oleh Tuan, Saudagar Kaya…. Maaf sekali.”
“Tidak apa-apa, Poci Kecil. Bilang pada tuanmu supaya memperlakukan putriku
dengan baik. Sayangku, aku pulang dulu, jaga dirimu…” kata si saudagar sambil
memeluk putrinya.
Putri Kecil segera terpesona dengan keindahan istana itu. Ia menyapa semua
lukisan, terbahak-bahak melihat tingkah lucu benda-benda yang hidup, dan
terkagum-kagum melihat
padang rumput istana itu yang luasnya luar
biasa.
“Senang dengan pemandangannya, Nona?” si Buruk Rupa tiba-tiba muncul dari
balik punggung si putri kecil.
“E-eh eh… Ya Tuan, istana anda indah sekali,” kata si putri kecil takut-takut
sambil membungkuk hormat.”
“Hahahaha, tak usah terbungkuk-bungkuk begitu… Anggap saja ini rumahmu
sendiri. Ayo, makan malam bersamaku.”
Di luar dugaan si putri kecil, Buruk Rupa orangnya humoris sekali. Ia dapat
membuat si putri kecil tertawa tergelak-gelak atas banyolannya tentang
pelayan-pelayannya, benda-benda yang hidup. Si Poci Kecil berinisiatif untuk
memutarkan musik bagi Tuan dan Nona barunya. Dengan si Sendok, Panci, Gelas, dan
Piring, mereka bersama-sama membangun orkestra kecil yang indah sekali.
Buruk Rupa dan putri kecil pun berdansa setelah makan malam. Berputar-putar
sambil mengobrol dan tertawa.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, si Buruk Rupa meminta hal yang tak
terduga:
“Nona, maukah kau mencium bibirku?”
Segera si putri kecil melepaskan dirinya dari pelukan si Buruk Rupa, lalu
marah-marah.
“Buruk Rupa! Kamu boleh memisahkanku lagi dari ayahku setelah sepuluh tahun
kami tidak bertemu! Kamu boleh mengajakku tinggal bersamamu di istana ini! Kamu
boleh memberiku makan! Kamu boleh mengajakku berdansa! Kamu boleh tertawa
bersamaku! Tapi tidak akan, sekali lagi, TIDAK AKAN PERNAH aku menciummu!”
:@
Masih memasang muka cemberut, si putri kecil pergi ke arah teras dan
memandangi
padang rumput hijau istana Buruk Rupa.
“Nona….” -..- “Kalau kamu tidak menginginkan sesuatu terjadi, tidak perlu
marah-marah seperti itu. Sudah,
sana ke kamarmu… Poci Kecil akan mengantarmu
sampai kamarmu.”
Dan begitulah seterusnya, berulang-ulang rutinitas setiap malam di istana
Buruk Rupa. Makan malam—tertawa-tawa—dansa-dansa—Buruk Rupa meminta si putri
kecil untuk mencium bibirnya—putri kecil marah-marah—si Buruk Rupa sok
menasehati—lalu mereka pergi tidur. Saya juga heran…
Lama-lama si putri kecil bosan tinggal di istana dengan rutinitas-rutinitas
begitu saja. Apalagi kalau siang hari si Buruk Rupa pergi berburu ke hutan
selama berjam-jam. Si putri kecil biasanya membaca di perpustakaan istana, atau
belajar menenun sambil mengobrol dengan si Poci Kecil.
Suatu malam, setelah pertengkaran yang itu-itu saja, si Putri Kecil pergi ke
kamarnya, mengganti gaunnya dengan piama, lalu menyisir rambutnya.
“Arrrrgggghhhh! Aku ingin pulang!” teriak si putri kecil kepada
cerminnya.
“Kamu ingin pulang?” tiba-tiba ada suara perempuan yang bening dan mirip
dengan suara si putri kecil.
“Hah?! Siapa itu?”
“Lihat ke cermin, Nona. Ini aku, si Cermin. Aku mirip denganmu karena setiap
hari aku menirumu. Tapi aku bisa berubah bentuk menjadi sesuatu yang lain kalau
engkau mau…”
Si putri kecil melihat cerminnya, lalu ia melihat dirinya sendiri sedang
duduk dan tersenyum padanya.
“Ohh… Ternyata kamu juga bisa berbicara, ya Cermin? Well, iya…. Aku bosan
berantem terus sama si Buruk Rupa tentang hal yang sama. Padahal sebetulnya si
Buruk Rupa itu orangnya sangat baik… Aku ingin ketemu Ayah dan kakak-kakakku
lagi…”
“Hmm… aku memang tidak bisa mengantarmu pulang. Tapi aku bisa lho memberimu
penglihatan atas apa yang terjadi pada Ayah dan Kakak-kakakmu.”
“Ohya? Mana-mana?” :D
Dan terlihatlah dari dalam cermin, si saudagar sedang terbaring sakit, sambil
ditangisi oleh kakak-kakaknya yang memijat dan memberi obat.
Saudagar itu berkata, “Putri Kecil…. Yang aku butuhkan supaya sembuh dari
sakit ini hanya si Putri Kecil…”
Segera setelah mengetahui kebenaran dari si Cermin, Putri Kecil segera
menemui si Buruk Rupa dan meminta izin untuk pulang ke rumah. Awalnya Buruk Rupa
menolak mentah-mentah, namun setelah mendengar seluruh cerita si Putri Kecil, ia
pun memperbolehkan si Putri Kecil untuk pulang.
Dengan segera, Putri Kecil berkuda ke rumahnya. Sesampainya di rumah, si
Saudagar langsung memeluk putrinya dan berkata, “Sudah-sudah… Jangan pernah lagi
kembali ke istana itu. Aku di sini menderita tanpamu, Putri Kecil-ku…”
“Tentu saja! Dengan senang hati, Ayah!”
Selama 3 minggu lamanya, si Putri Kecil tidak kembali ke istana si Buruk
Rupa. Si Saudagar bahagia dikelilingi oleh putri-putrinya. Tapi semua itu
akhirnya berakhir, ketika pada suatu malam, si Putri Kecil didatangi si
Cermin.
“Psst! Nona!” seru si Cermin yang datang di kamar si Putri Kecil. Putri Kecil
yang sedang bersiap-siap tidur pun segera terbangun oleh suara si Cermin.
“Lho, Cermin?! Bagaimana kamu bisa ada di sini?”
“Aku dapat hadir dimana pun kau bisa memantul, Nona. Tapi yang paling
penting, kedatanganku di sini adalah ingin memberitahumu bahwa Tuan sedang
sakit!”
“Buruk Rupa? Sakit? Apa yang sudah ia makan sehingga ia bisa sakit?” ._.
“Bukan karena makanan, Nona… Tapi karena ia kesepian. Ia rindu padamu.”
Si Cermin pun memantulkan gambar si Buruk Rupa yang sedang terbaring di
lantai istana. Wajahnya menampilkan derita kesakitan yang amat sangat.
Merasa iba, Putri Kecil meminta izin kepada ayahnya untuk kembali ke istana
si Buruk Rupa.
“Boleh saja, anakku. Tapi apakah nanti kau akan kembali?”
“Aku tidak tahu ayah. Kita berdoa saja, supaya nanti aku dibolehkan kembali
ke sini oleh si Buruk Rupa.”
“Pergilah, Nak. Aku akan berdoa supaya engkau boleh kembali lagi.”
Lalu pergilah lagi si Putri Kecil ke istana si Buruk Rupa. Ia langsung menuju
lantai tempat si Buruk Rupa berbaring kesakitan.
“Buruk Rupa, Buruk Rupa! Bangunlah! Sadar! Buka matamu!”
“Apa aku sudah ada di surga?”
*buruk rupa yang bodoh* -___-
“Tidak, Buruk Rupa, aku ini, si Putri Kecil. Ayo buka matamu…”
Masih merasakan sakit itu, si Buruk Rupa mencoba membuka matanya, namun tidak
bisa…
Melihat penderitaan si Buruk Rupa, Putri Kecil tanpa sadar mencium bibir si
Buruk Rupa.
Segera setelah itu, si Poci Kecil, Gelas, Piring, Cermin, dan teman-temannya
berubah menjadi manusia.
Dan si Buruk Rupa menjadi Pangeran Tampan.
Dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.