Minggu, 25 November 2012

Si Cantik dan Si Buruk Rupa

Pada suatu masa, hiduplah seorang saudagar kaya. Ia mempunyai seorang istri dan 3 orang anak. Seperti layaknya saudagar pada umumnya, ada masa ketika saudagar itu kaya raya, ada masa sulit ketika saudagar itu mengalami keadaan "lebih besar pasak daripada tiang." Yang menyedihkan adalah, ketika si saudagar itu sedang bangkrut, istri yang paling dicintainya meninggal dunia...

Lewat masa berkabung, saudagar itu bertekad untuk membawa kembali keluarganya menjadi kaya raya seperti dulu, walaupun sang istri telah meninggal dunia... Ia pun pamit kepada ketiga putrinya untuk melakukan perjalanan ke Timur Jauh untuk berdagang di sana.

Anak pertama berkata, "Ayah, tolong belikan aku sutra dari Timur Jauh. Aku sudah lama ingin gaun yang terbuat dari sutra terbaik yang dimiliki Timur Jauh."

Si saudagar menjawab, "Tentu saja, sayangku. Doakan saja semoga ayahmu ini sukses dan bisa kembali membawakan sutra itu kepadamu."

Anak kedua berkata, "Ayah, tolong belikan aku sepatu kayu dari Timur Jauh. Aku sudah lama ingin sepatu kayu dari kayu terbaik yang dimiliki Timur Jauh."

Si saudagar menjawab, "Tentu saja, sayangku. Doakan saja semoga ayahmu ini sukses dan bisa kembali membawakan sepatu kayu itu kepadamu."

Si kecil bungsu dengan lugunya berkata kepada ayahnya, "Ayah, ayahku sayang, hanya satu yang kuinginkan: ayah cepat pulang dari Timur Jauh..."

Si saudagar tersenyum dan memeluk putrinya yang paling kecil itu, "Aduh, anakku sayang... Ayah belum pergi kok kamu sudah minta ayah pulang?" :) "Kamu mau oleh-oleh apa, nak? Katakan saja..."
"Hmm... Baiklah... Aku mau mawar putih saja untuk oleh-oleh, ayah..."
Mendengar permintaan putri kecilnya itu, terharulah si saudagar dan berjanji, "Tentu saja! Aku akan bawakan mawar putih terbaik untukmu, sayangku!"

Sepuluh tahun pun berlalu. Si saudagar sudah amat rindu kepada putri-putri kesayangannya, dan sudah bosan hidup di Timur Jauh. Ia pun tak lupa membeli sutra merah jambu dan sepatu kayu untuk para kakak-kakak.

Setelah turun dari kapal, si saudagar harus melanjutkan perjalanan dengan kuda untuk pulang ke rumah. Hari sudah petang. Ia melewati suatu hutan yang amat lebat dengan tergesa-gesa. Si saudagar ini sebenarnya agak takut dengan gelap.

Di tengah perjalanan, si saudagar melihat ada serumpun mawar putih yang indah. Melihat rerumpunan itu, si saudagar langsung ingat dengan janjinya dengan si putri kecil. Ia pun turun dari kudanya dan memetik satu bunga mawar putih.

“SIAPA ITU?!” terdengar suara yang amat keras. “BERANI-BERANINYA KAU MENCURI MAWAR PUTIHKU!”

Tiba-tiba di balik rerumpunan itu, menyalalah suatu istana megah. Takut lah si saudagar kaya.

“HEY! JAWAB AKU! SIAPA KAMU?!”

“S-saya hanyalah orangtua yang sedang dalam perjalanan pulang, tuan…”

“Hmm… Kemana kamu akan pulang?” tanya suara misterius itu.

“Ke rumah terdekat dari hutan ini, tuan…”

“Well, masuklah ke dalam istanaku. Makan lah. Baru setelah itu aku putuskan nasibmu.”

Takut-takut, si saudagar membawa masuk kudanya ke padang rumput istana itu. Kuda itu segera makan rumput segar yang ada di situ, dan meringkik-ringkik kegirangan. Saudagar itu tersenyum, lalu menalikan si kuda ke pohon terdekat.
Pintu masuk istana itu dibukakan oleh… sebuah poci teh.

“Selamat sore, tuan!” sapa si Poci Kecil. “Tuan saya menyuruh saya untuk menjamu anda malam ini. Silahkan masuk!”

Terheran-heran tapi senang, si saudagar masuk ke dalam istana.

Istana yang megah dan menyilaukan itu ternyata adalah suatu tempat yang amat nyaman. Lukisan-lukisan yang menempel di dinding bisa tersenyum, berbicara, dan menyambut tamu yang datang. Semua benda-benda mati ternyata hidup dan melayani si saudagar dengan jamuan makanan yang luar biasa nikmat.

Setelah si saudagar puas makan dan minum, suara besar menakutkan itu kembali berkata:

“Hey kau. Sudah selesai makanmu kah?”

“S-sudah, Tuan…” jawab si saudagar takut-takut.

Tiba-tiba terbukalah pintu ruang makan, dan keluarlah sesosok makhluk yang buruk rupa. Saudagar sampai terjungkal dari kursinya karena melihat ke-buruk-rupa-an dari makhluk tersebut.

“Nah. Kau Saudagar Tua, hendak kemana kau pulang?”

“S-seperti yang sudah saya bilang, Tuan. Saya hendak pulang ke rumah saya. Saya sedang separuh perjalanan, lalu melihat mawar putih milik Tuan yang indah. Saya jadi teringat dengan putri kecil saya di rumah yang ingin oleh-oleh mawar putih…”

“Hmh, tapi kau tidak perlu mencurinya dariku, kan?!”

“Maaf, Tuan, saya pikir mawar putih itu tumbuh begitu saja di hutan ini…”

“Mana mungkin, Saudagar Bodoh! Mawar putih sebagus itu pasti dirawat! Dasar Saudagar Yang Tidak Punya Otak!”

“Ampun, Tuan… Sekarang saya harus bagaimana?”

“Mudah saja. Pulang ke rumahmu, bawa putri kecilmu yang ingin mawar putih itu ke istana ini. Katakan padanya bahwa hidupnya di sini akan mudah. Kau sudah merasakan bagaimana mudahnya hidup di istana ini, bukan?” ;) “Kalau kamu tidak mau, kamu akan kubunuh!” ancam si Buruk Rupa.

“Dasar makhluk Buruk Rupa kurang ajar!” pikir si saudagar. “Berani-beraninya ia mengambil putriku!”

Dengan penuh penyesalan atas kesalahan kecil yang telah ia perbuat, si saudagar itu mengangguk, membungkuk, dan pergi pulang.

Sesampainya di rumah, si saudagar memeluk semua putri-putrinya dan memberikan mereka oleh-oleh yang mereka minta: sutra dari Timur Jauh untuk kakak pertama, sepatu kayu dari Timur Jauh untuk kakak kedua, dan mawar putih yang harum dan bersih untuk si putri bungsu.

Mereka berempat bersenda-gurau seharian, saling menceritakan apa yang telah terjadi selama sepuluh tahun ketika mereka, bapak dan anak-anak perempuannya hidup terpisah. Putri-putri yang selalu masih kecil di mata ayah mereka itu tidak tahu bahwa si ayah sedang memikirkan perkara yang sangat pelik…

Setelah makan malam, para kakak kembali ke kamar mereka masing-masing. Kakak pertama mulai menjahit gaun sutra pertamanya dengan senang hati. Kakak kedua mencoba-coba sepatu barunya dengan gaun-gaun yang telah ia miliki. Mereka asyik di kamar masing-masing, meninggalkan si bungsu dengan ayahnya di ruang makan.

“Nak, sebetulnya aku ingin menceritakan sesuatu padamu, tapi aku belum siap mengatakan hal ini di depan kakak-kakakmu,” si saudagar mulai berbicara.

“Katakan saja, Ayah!”

Dan berceritalah si saudagar tentang kebodohannya, kenaifannya dan kesanggupannya atas konsekuensi segala perbuatannya itu.

“Ayah, ayah tenang saja… Aku akan ke istana itu. Ayo kita berangkat sekarang,” kata si putri kecil.
Sambil memeluk putri kecilnya, si saudagar tersedu-sedu, “Maafkan ayah, Nak. Maafkan ayahmu yang bodoh ini…”

“Tidak apa-apa, Ayah. Tidak apa-apa… Ayo kita pamit kepada kakak-kakak.”

Para kakak pun juga terkejut dan menangisi kepergian adik kecil mereka. Mereka juga menyalahkan Sang Ayah, tapi mau bagaimanapun juga, ini semua berawal dari permintaan si putri kecil. Jadi yang bisa para kakak lakukan hanya memeluk dan menangisi adik mereka….

Sesampainya di istana Buruk Rupa, si putri kecil dipersilahkan masuk oleh Poci Kecil. Poci Kecil itu berkata, “Silahkan masuk Putri Kecil! Tapi anda tidak dibolehkan ikut masuk oleh Tuan, Saudagar Kaya…. Maaf sekali.”

“Tidak apa-apa, Poci Kecil. Bilang pada tuanmu supaya memperlakukan putriku dengan baik. Sayangku, aku pulang dulu, jaga dirimu…” kata si saudagar sambil memeluk putrinya.

Putri Kecil segera terpesona dengan keindahan istana itu. Ia menyapa semua lukisan, terbahak-bahak melihat tingkah lucu benda-benda yang hidup, dan terkagum-kagum melihat padang rumput istana itu yang luasnya luar biasa.

“Senang dengan pemandangannya, Nona?” si Buruk Rupa tiba-tiba muncul dari balik punggung si putri kecil.

“E-eh eh… Ya Tuan, istana anda indah sekali,” kata si putri kecil takut-takut sambil membungkuk hormat.”

“Hahahaha, tak usah terbungkuk-bungkuk begitu… Anggap saja ini rumahmu sendiri. Ayo, makan malam bersamaku.”

Di luar dugaan si putri kecil, Buruk Rupa orangnya humoris sekali. Ia dapat membuat si putri kecil tertawa tergelak-gelak atas banyolannya tentang pelayan-pelayannya, benda-benda yang hidup. Si Poci Kecil berinisiatif untuk memutarkan musik bagi Tuan dan Nona barunya. Dengan si Sendok, Panci, Gelas, dan Piring, mereka bersama-sama membangun orkestra kecil yang indah sekali.
Buruk Rupa dan putri kecil pun berdansa setelah makan malam. Berputar-putar sambil mengobrol dan tertawa.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, si Buruk Rupa meminta hal yang tak terduga:

“Nona, maukah kau mencium bibirku?”

Segera si putri kecil melepaskan dirinya dari pelukan si Buruk Rupa, lalu marah-marah.

“Buruk Rupa! Kamu boleh memisahkanku lagi dari ayahku setelah sepuluh tahun kami tidak bertemu! Kamu boleh mengajakku tinggal bersamamu di istana ini! Kamu boleh memberiku makan! Kamu boleh mengajakku berdansa! Kamu boleh tertawa bersamaku! Tapi tidak akan, sekali lagi, TIDAK AKAN PERNAH aku menciummu!” :@

Masih memasang muka cemberut, si putri kecil pergi ke arah teras dan memandangi padang rumput hijau istana Buruk Rupa.

“Nona….” -..- “Kalau kamu tidak menginginkan sesuatu terjadi, tidak perlu marah-marah seperti itu. Sudah, sana ke kamarmu… Poci Kecil akan mengantarmu sampai kamarmu.”

Dan begitulah seterusnya, berulang-ulang rutinitas setiap malam di istana Buruk Rupa. Makan malam—tertawa-tawa—dansa-dansa—Buruk Rupa meminta si putri kecil untuk mencium bibirnya—putri kecil marah-marah—si Buruk Rupa sok menasehati—lalu mereka pergi tidur. Saya juga heran…

Lama-lama si putri kecil bosan tinggal di istana dengan rutinitas-rutinitas begitu saja. Apalagi kalau siang hari si Buruk Rupa pergi berburu ke hutan selama berjam-jam. Si putri kecil biasanya membaca di perpustakaan istana, atau belajar menenun sambil mengobrol dengan si Poci Kecil.

Suatu malam, setelah pertengkaran yang itu-itu saja, si Putri Kecil pergi ke kamarnya, mengganti gaunnya dengan piama, lalu menyisir rambutnya.

“Arrrrgggghhhh! Aku ingin pulang!” teriak si putri kecil kepada cerminnya.

“Kamu ingin pulang?” tiba-tiba ada suara perempuan yang bening dan mirip dengan suara si putri kecil.

“Hah?! Siapa itu?”

“Lihat ke cermin, Nona. Ini aku, si Cermin. Aku mirip denganmu karena setiap hari aku menirumu. Tapi aku bisa berubah bentuk menjadi sesuatu yang lain kalau engkau mau…”

Si putri kecil melihat cerminnya, lalu ia melihat dirinya sendiri sedang duduk dan tersenyum padanya.

“Ohh… Ternyata kamu juga bisa berbicara, ya Cermin? Well, iya…. Aku bosan berantem terus sama si Buruk Rupa tentang hal yang sama. Padahal sebetulnya si Buruk Rupa itu orangnya sangat baik… Aku ingin ketemu Ayah dan kakak-kakakku lagi…”

“Hmm… aku memang tidak bisa mengantarmu pulang. Tapi aku bisa lho memberimu penglihatan atas apa yang terjadi pada Ayah dan Kakak-kakakmu.”

“Ohya? Mana-mana?” :D

Dan terlihatlah dari dalam cermin, si saudagar sedang terbaring sakit, sambil ditangisi oleh kakak-kakaknya yang memijat dan memberi obat.

Saudagar itu berkata, “Putri Kecil…. Yang aku butuhkan supaya sembuh dari sakit ini hanya si Putri Kecil…”

Segera setelah mengetahui kebenaran dari si Cermin, Putri Kecil segera menemui si Buruk Rupa dan meminta izin untuk pulang ke rumah. Awalnya Buruk Rupa menolak mentah-mentah, namun setelah mendengar seluruh cerita si Putri Kecil, ia pun memperbolehkan si Putri Kecil untuk pulang.

Dengan segera, Putri Kecil berkuda ke rumahnya. Sesampainya di rumah, si Saudagar langsung memeluk putrinya dan berkata, “Sudah-sudah… Jangan pernah lagi kembali ke istana itu. Aku di sini menderita tanpamu, Putri Kecil-ku…”

“Tentu saja! Dengan senang hati, Ayah!”

Selama 3 minggu lamanya, si Putri Kecil tidak kembali ke istana si Buruk Rupa. Si Saudagar bahagia dikelilingi oleh putri-putrinya. Tapi semua itu akhirnya berakhir, ketika pada suatu malam, si Putri Kecil didatangi si Cermin.

“Psst! Nona!” seru si Cermin yang datang di kamar si Putri Kecil. Putri Kecil yang sedang bersiap-siap tidur pun segera terbangun oleh suara si Cermin.

“Lho, Cermin?! Bagaimana kamu bisa ada di sini?”

“Aku dapat hadir dimana pun kau bisa memantul, Nona. Tapi yang paling penting, kedatanganku di sini adalah ingin memberitahumu bahwa Tuan sedang sakit!”

“Buruk Rupa? Sakit? Apa yang sudah ia makan sehingga ia bisa sakit?” ._.

“Bukan karena makanan, Nona… Tapi karena ia kesepian. Ia rindu padamu.”

Si Cermin pun memantulkan gambar si Buruk Rupa yang sedang terbaring di lantai istana. Wajahnya menampilkan derita kesakitan yang amat sangat.

Merasa iba, Putri Kecil meminta izin kepada ayahnya untuk kembali ke istana si Buruk Rupa.

“Boleh saja, anakku. Tapi apakah nanti kau akan kembali?”

“Aku tidak tahu ayah. Kita berdoa saja, supaya nanti aku dibolehkan kembali ke sini oleh si Buruk Rupa.”

“Pergilah, Nak. Aku akan berdoa supaya engkau boleh kembali lagi.”

Lalu pergilah lagi si Putri Kecil ke istana si Buruk Rupa. Ia langsung menuju lantai tempat si Buruk Rupa berbaring kesakitan.

“Buruk Rupa, Buruk Rupa! Bangunlah! Sadar! Buka matamu!”

“Apa aku sudah ada di surga?”

*buruk rupa yang bodoh* -___-
“Tidak, Buruk Rupa, aku ini, si Putri Kecil. Ayo buka matamu…”

Masih merasakan sakit itu, si Buruk Rupa mencoba membuka matanya, namun tidak bisa…

Melihat penderitaan si Buruk Rupa, Putri Kecil tanpa sadar mencium bibir si Buruk Rupa.

Segera setelah itu, si Poci Kecil, Gelas, Piring, Cermin, dan teman-temannya berubah menjadi manusia.

Dan si Buruk Rupa menjadi Pangeran Tampan.

Dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar