Minggu, 15 Maret 2009

Buat Lomba Cerpen nih!

Cerpen ni q bwt bwt ikutan lomba cerpen bobo. Iy, silakan blang w krang krjaan. (-.-) Hadiah pertamnya Rp 4,5 juta. Hadiah hiburannya 500ribu. Lmayan bwt nambah2in uang masuk....
Baca ya. ntar blang aja ni bagus apa ngga.. ^.^

Cerpen Ochi

“Aaaa!!!” terdengar sebuah jeritan dari sudut kelas.

Anak-anak yang sedang beristirahat semua langsung berbondong-bondong menghampiri si pemilik suara. Ternyata yang berteriak tadi adalah Ochi. Di dalam pelukan Suci, sahabat karibnya, ia menangis sesenggukan. Suci menepuk-nepuk pundak Ochi, berusaha menenangkannya.

“Ada apa Ci? Mengapa Ochi sampai menjerit seperti itu?” tanya Tony.

“Tadi kamu ikut membaca cerpen Ochi yang berjudul ‘Aku si Anak Baru’, kan Ton? Ketika tadi Ochi membuka tasnya, naskah yang mau dikirimkan ke majalah itu sudah habis dirusak, dirobek-robek. Lihat!” kata Suci menjelaskan sebab mengapa Ochi tadi menjerit, sambil memberikan amplop coklat yang digunakan Ochi untuk mengirim naskah cerpen itu nantinya kepada Tony.

Benar saja. Ketika Tony membuka amplop tersebut, naskah di dalamnya sudah hancur lebur. Tony menjadi kasihan kepada Ochi. Dia sangat terkesan dengan cerpen Ochi yang menceritakan seorang anak yang berusaha agar diterima oleh teman-teman di sekolah barunya, meskipun sebagai anak orang miskin. Tony yakin, apabila naskah itu tidak dirusak, pasti nanti akan dimuat.

“Tapi Chi, kamu masih punya simpanan dokumennya di komputermu, kan?” tanya Winda, salah satu penghuni kelas 5C.

“Komputer mana, Nda? Gak tahu ya kamu kalau Ochi mengarang cerita itu menggunakan mesin tik? Aku melihat sendiri tulisannya. Tidak di-print menggunakan komputer. Namun diketik langsung menggunakan mesin tik,” kata Gendhis.

“Huh, ini tak bisa dibiarkan. Pasti pelakunya seseorang yang iri hati terhadap Ochi,” kata Tony sambil menaikkan kacamatanya yang melorot. “Tenang Ochi. Biar kuselesaikan masalah ini untukmu.”

“Lagakmu, Ton! Sudah ya, Chi. Tenang saja. Nanti setiap hari aku akan datang ke rumahmu untuk membantumu mengingat-ingat kembali cerpenmu itu,” hibur Suci kepada Ochi yang sudah tidak sesenggukan dan mulai tenang di pelukannya.

“I-iya. Terima Kasih semuanya. A-aku nanti pasti lambat laun akan mengingatnya kembali,” kata Ochi yang masih agak cegukan sehabis menangis.

“Minum dulu, Chi. Sementara itu aku akan meneliti sisa naskahmu ini,” kata Tony dengan gaya yang masih sok itu. “Hmm... dilihat dari robekan kertasnya, sepertinya tidak mungkin si pelaku merobek asal menggunakan tangan. Lihat, sisi-sisi robekan ini. Rapi, dirobek menggunakan gunting.”

Benar juga si Tony. Ia menunjukkan kepada teman-temannya satu robekan yang bentuknya segitiga. Tidak rapi, namun tidak seperti hasil robekan tangan. Bisa dipastikan sekarang, bahwa naskah itu digunting-gunting asal oleh sang pelaku.

“Keterlaluan! Ayo, semua yang membawa gunting harus segera mengaku!” seru Jalu si ketua kelas yang merasa hal ini adalah tanggung jawabnya.

“Percuma! Bagaimana kamu ini, Jal? Lupakah kamu bahwa hari ini ada pelajaran prakarya membuat bunga dari sedotan? Semua orang pasti bawa gunting, lah! Pasti si pelaku sudah tahu bahwa Ochi akan membawa naskahnya pada hari ini, dan berencana untuk menggunakan gunting. Sekarang makin sulit kita menangkapnya,” kata Gendhis.

“Hari ini ada prakarya?! Olala!” seru Jalu sambil menepuk jidatnya. “Aku lupa!”

Akhirnya istirahat selesai, para murid melanjutkan pelajaran sampai bel pulang berbunyi. Tony masih penasaran dengan kejadian pagi itu. Maka, ia meminta sisa-sisa kertas potongan tadi.

“Akan kuperiksa dan kucari kebenarannya. Bahkan aku akan menyelidikinya dengan mencari sidik jari!” begitu katanya.

Suci hanya memutar bola matanya ke atas tanda tidak percaya. Namun Ochi tersenyum geli dan memberikan naskah itu kepada Tony.

Sesampai di rumah, setelah Tony makan siang dan mengerjakan pr-nya, Tony menuang naskah yang hancur itu di atas meja belajarnya. Ia memperhatikan setiap robekan. Seingatnya , naskah itu terdiri dari dua halaman kertas folio. DItulis dengan mesin tik. Semakin dipikirkan, rasanya analisisnya tadi pagi makin benar. Memang tadi pagi adalah saat yang paling tepat bagi si pelaku. Semua orang membawa gunting untuk pelajaran prakarya. Apalagi waktu Ochi menemukan naskahnya, saat itu sedang istirahat setelah pelajaran olahraga. Waktu yang tepat sekali. Pasti si pelaku menyelinap saat pelajaran olahraga.

“Aduh, sayang sekali aku tidak memperhatikan siapa yang menyelinap. Aku terlalu asyik bermain kasti,” sesal Tony.

Tony kembali berpikir. Kira-kira siapa saja yang begitu iri dengan Ochi, sampai-sampai tega melakukan hal itu? Namun, pikiran Tony malah buntu. Ochi adalah salah satu anak yang paling disukai oleh teman-temannya. Karena kepintarannya dalam mengarang, Ochi telah berhasil mengharumkan nama sekolahnya ketika memenangkan berbagai lomba mengarang. Apabila ada yang iri padanya, pasti orang itu akan menutupi keiriannya.

“Ah, sudah dulu ah! Nanti kupikirkan lagi,” kata Tony sambil memasukkan kembali kertas-kertas itu ke amplop coklat.

“Terlalu banyak kemungkinan, terlalu sulit untuk menemukan siapa pelakunya,” kata Tony dalam hati.

“Mungkin kalau Ochi tidak memamerkan cerita itu kepadaku, Suci, dan Jalu tadi pagi, mungkin naskah ini masih selamat sampai sekarang...,” Tony mengandai-andai.

Tiba-tiba Tony tercengang. Ia menyadari, bahwa ia baru saja mendapatkan ilham. Yang membaca naskah Ochi tadi pagi hanya Suci, Jalu, dan Tony sendiri. Namun, ada satu orang lagi yang melihat naskah itu tanpa sepengetahuan Ochi.... Akan tetapi, Tony tak yakin juga dengan hal ini. Ia punya bukti, tapi ia tak yakin bahwa bukti itu akan cukup kuat untuk menuduh....

“Ah, sebaiknya aku coba dulu saja. Lagipula, dia tidak dekat dengan Ochi, dan rumahnya pun jauh dengan rumah Ochi. Tak mungkin dia mengetahuinya, kalau dia bukan pelakunya.”

Keesokan paginya, Tony mendatangi Gendhis dan berkata, “ Dhis, mengaku sajalah. Ochi juga tak ‘kan marah.”

“Eh, apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” kata Gendhis.

“Kemarin kamu yang menggunting-gunting cerpen Ochi itu kan? Kapan kamu melakukannya? Menyelinap saat pelajaran olahraga?”

“Apa-apaan kamu, Ton?! Apa buktimu?”

“Kemarin kamu berkata kepada Winda, bahwa kamu melihat sendiri tulisan naskah itu yang tulisannya diketik menggunakan mesin tik. Seingatku, kamu tidak ikut membaca naskah itu bersamaku, Suci atau Jalu. Kemarin pagi kamu hanya duduk di kursimu tanpa menunjukkan minat untuk ikut melihat cerpennya Ochi. Nah, walau kemarin kamu tidak membaca, atau setidaknya melihat cerpen Ochi, bagaimana kamu bisa memberitahu WInda bahwa Ochi mengetik naskah itu menggunakan mesin tik, bukan komputer?”

Gendhis terdiam, menyadari bahwa kemarin ia salah ngomong. Sekarang ia harus mengakui ucapannya sendiri. Dia mau membela diri, namun pikirannya buntu. Saat pelajaran olahraga kemarin, ia berkata kepada Winda bahwa ia mau mengambil minum di kelas sebentar, supaya nanti ia tidak dicurigai karena menyelinap ke kelas sendirian. Winda bisa menjadi saksi yang pas sekali untuk tuduhan Tony. Apalagi, ia memang tidak pernah ke rumah Ochi, sehingga ia tidak pernah tahu bahwa selama ini Ochi mengetik cerpen-cerpennya menggunakan mesin tik. Ia baru mengetahuinya kemarin sebelum menggunting naskah cerpen itu. Sekarang, Gendhis harus menelan penyesalan dan rasa malu bulat-bulat.

Setelah itu, Gendhis menghampiri Ochi dan meminta maaf kepadanya. Menyatakan bahwa ia iri dengan kemampuan Ochi dalam tulis-menulis. Gendhis juga sering mengirim cerpen ke majalah, tapi tidak pernah dimuat. Karena kesal, kemarin Gendhis khilaf, dan menggunting-gunting naskah Ochi. Ochi kaget sekali, tapi Ochi segera memaafkan Gendhis. “Tenang saja, Dhis. Kemarin aku sudah mengetik ulang naskahku. Ternyata aku masih ingat cerpen itu. Malah aku jadi menambah kekurangan di sana-sini. Tak usah dipikirkan, ya. Dan jangan nyerah. Cerpenku juga sering ditolak sewaktu kelas empat,” hibur Ochi, tanpa ada rasa permusuhan.

“Iya, ya. Wajar karyamu sering dimuat sekarang. Sudah sering ngirim sejak kelas empat. Aku baru ngirim cerpen lima kali,” ujar Gendhis. Mereka berdua bersalaman dan saling tersenyum.

“Wah, hebat kamu Ton. BIsa tepat begitu tebakanmu,” kata Jalu.

“Ah, bisa saja kamu, Jal. Seharusnya, aku sudah bisa menebaknya sewaktu Gendhis berkata kepada Winda kalau Ochi mengetik pakai mesin tik. Gak perlu analisis gunting segala,” ujar Tony.

“Yah, namanya juga detektif pemula. Hahaha....”

2 komentar:

  1. dee ini pernah dimuat gak??
    kayaknya aku pernah baca....sumpah deh.

    BalasHapus
  2. Ohya? Deja vu, kali... Tapi emang sih, ini waktu lomba cerpen detektif Bobo, kok. Kalo gak menang, cerpen ini jadi hak-nya Bobo.

    BalasHapus